Akhir-akhir ini, aku sering melihat berita riuh “kaburajadulu” di tanah air. Mulai dari yang bagi-bagi bunga mawar, dari yang posting iming-iming informasi untuk mendapatkan kesempatan ke luar negeri sampai dengan bocoran informasi di medsos tentang negara mana saja yang enak untuk dikaburin.
Ada orang yang mengomentarinya dengan pedas “Nggak usah balik aja sekalian”, “Wah, nggak nasionalis” dan entah kalimat negatif apa lagi yang dihujamkan ke dada orang yang mukanya masih kayak bayi dan berhati princess, misalnya. Jahat, kan. Padahal, kalau aku pribadi, pengennya memberi semangat. Pergi, pergi aja untuk menambah pengalaman, supaya nggak jadi katak di dalam tempurung. Agar orang muda bisa berkembang. Jalan masihlah panjang. Malah bagus, apalagi bagi mereka yang punya talenta seperti masak, menari, menyanyi dan main musik tradisional. Ini bakat yang bisa disebarluaskan ketika berada di luar negeri. Soft diplomacy mandiri diaspora yang ngabur ke Jerman.
Tarik nafas satu meter. Aku sendiri bukan orang yang kabur dari tanah air. Malah aku merasa aku ini diculik suamiku. Soalnya, tadinya janji, bahwa kami hanya 2 tahun saja berada di Jerman, lantas kembali lagi ke Semarang. Ternyata akan tambah angka nol di belakangnya. Tahun depan, genap 20 tahun di negeri yang baru saja menyelenggarakan Pemilu. Nggak jadi balik!
Kalau aku kilas balik, sudah banyak yang sudah aku lakukan di negeri Mercedes ini. Sudah banyak orang yang aku kenal dari bayi sampai lansia. Pahit-manis kehidupannya sangat menguatkan karakterku. 4 Musimnya membuatku yakin bahwa dunia ini indah. Aku tahu Tuhan menyayangiku, menunjukkan jalan yang harus aku lalui. Aku sadar, malaikat mengelilingiku untuk mendampingi dalam suka dan duka. Aku bahagia bahwa keluargaku, membuatku semangat bertahan hidup di negeri yang kata kerjanya berubah sesuai dengan subyek yang menyertainya. Tepok jidat. Susah amat.
Cara Mudah Kabur ke Jerman
Baiklah, jauh-jauh hari pada tahun 2019, aku sudah menulis buku “Banyak Cara Menuju Jerman” lewat penerbit Elexmedia. Wawancaraku dengan diaspora muda Indonesia yang ada di Jerman, menghasilkan informasi yang luar biasa. Mereka memberitakan tentang pengalamannya padaku dan aku bagi kepada para pembaca. Bagaimana cara mudah masuk Jerman?
1. Au pair
Program setahun ini cocok untuk kalian yang berumur 18- 25 tahun. Entah laki-laki atau perempuan, pekerjaannya mirip the nanny yakni membantu sebuah keluarga untuk mengasuh anak-anaknya. Mulai dari membangunkan dari tempat tidur, ke sekolah sampai mengantar ke tempat tidur lagi pada malam hari. Yang istimewa, akan ada kesempatan kursus belajar bahasa Jerman. Uang saku per bulan 280 euro atau Rp 4,4 juta, tidur dan makan dalam.
2. FSJ atau Freiwilliges Soziales Jahr.
Program ini bagus buat kalian yang sudah berumur 18-25 tahun. Baik laki-laki atau perempuan, kalian boleh melakukan pekerjaan sosial selama setahun di tempat-tempat seperti panti jompo, tempat anak cacat, taman kanak-kanak, SD dan masih banyak tempat lain lagi. Setiap peserta akan mendapatkan uang saku sekitar 644 euro atau Rp 10, 3 juta.
3. Ausbildung
Program 2-4 tahun ini bisa kalian pilih sesuai ketertarikan kalian. Jika mau jadi Kinderpfleger (asisten guru TK) hanya dua tahun. Untuk guru TK (ada banyak program 3 tahun untuk program dual, 4 tahun untuk program klasik, 5 tahun untuk yang paruh waktu). Aku sendiri mengambil yang 3 tahun, jadi dua hari kerja di taman kanak-kanak dan tiga hari belajar di kampus PGTK. Kalau aku pikir, programnya mirip perkawinan antara SMK/SMEA dengan akademi. Skripsinya juga susah, ada sidang segala. Uang bulanan yang aku terima di tahun pertama adalah 1100 euro, 1300 euro di tahun kedua dan 1400 euro di tahun ketiga. Akhirnya, aku mendapatkan gelar Bachelor Professional im Sozialwesen. Eh, bukankah Bachelor itu di tanah air S1? Program lain yang bisa dipilih adalah Krankenschwester aka perawat. Ada lagi Ausbildung sebagai Pflegerin atau perawat lansia bagi kalian yang ingin menjadi perawat di panti jompo.
4. Kuliah
Di lingkungan tempat aku tinggal yang di tengah hutan dan di tengah gunung, lebih banyak generasi muda yang menyukai Ausbildung ketimbang kuliah. Padahal banyak sekali universitas di Jerman yang tersebar di kota kecil sampai kota besar. Katanya, mereka ini lebih menyukai jenjang pendidikan yang pendek dan segera dapat pekerjaan. Artinya, pegang uang. Konon, banyak universitas yang dulu membebaskan mahasiswa untuk belajar di kampus. Sekarang ada uang intuisi, uang semester (100-350 euro atau 1,6-5,6 juta).
5. Menikah
Cara ini aku pikir paling aman, menikah dengan orang Jerman. Tapi jangan yang “Heiratschwindel”atau kawin kontrak, ya. Bisa dideportasi, lho. Perkawinan itu hanya berlaku sekian bulan atau sekian tahun sesuai perjanjianmu dengan pasanganmu. Jangan mau dengan iming-iming ini, karena ada udang di balik rempeyek. Misalnya untuk bisa berbisnis di Jerman karena menikahimu dan lain sebagainya. Kalau dahulu aku nggak harus memiliki sertifikat Jerman sebelum menikah (ngomong saja cuma “Ja” atau ya, dan “Nein” atau tidak. Aku dengar ada teman yang cerita harus punya sertifikat Jerman dulu sebelum menikah, minimal A1. Sebelum menikah dengan orang Jerman, pahami karakter orang Jerman, ya. Supaya awet tanpa formalin. Agar nggak kaget kalau sudah berumah tangga dan baru tahu watak, setelah bukan sebelumnya.
Gambaran realita bea harian di Jerman
Jika kalian sudah mengikuti program 1-4 di atas, dan ingin tinggal lebih lama lagi tapi belum ada pasangan yang tepat untuk hidup berdua, pastinya ada keinginan untuk tinggal sendiri. Mandiri.
Sayangnya, taraf hidup di Jerman sangat tinggi dibanding di Indonesia. Walaupun begitu, manusia Indonesia paling pintar hidup irit.
Mulai dari bea kos. Di daerah pedesaan masih banyak yang harganya 250 – 400 euro sebulan (Rp 4-6,4 juta). Di kota besar sudah ada di kisaran 600 euro ke atas (Rp 9,6 juta). Untuk makan bisa dihemat karena kalau memasak sendiri atau membeli bahan makanan yang sudah didiskon, bisa makan 4 sehat 5 sempurna 6 menyala dengan harga murah. Seminggu 50 euro atau sebulan 200 euro atau Rp 3,2 juta) cukup buat ongkos belanja. Minum air dari keran sudah cukup segar dan sehat. Ditambah sitrus dikit tambah segar dan enak. Nggak usah minum soda segala, nggak sehat.Kalau kangen Indonesia, bisa bikin teh wasgitel. Uang sampah, ikut sama yang punya rumah. Kemudian, jika tempat tinggal kalian nggak jauh dari tempat kerja, bisa jalan kaki, karena selain sehat juga irit. Jika agak jauh, bisa membeli tiket bus dan atau kereta (30-60 euro per bulan atau Rp 480-960 ribu). Perhitungan bea lain yang harus diperhitungkan adalah bea asuransi kesehatan. Biasanya ini sudah dipotongkan dalam gaji. Untuk bea komunikasi HP, pulsa HP bisa 5-10 euro beli di toko kelontong ALDI atau LIDL (Rp 80-160 ribu) saja cukup. Lain waktu bisa nyangkut dari Wifii yang ada di mana-mana. Kalau kamu dapat gaji 3000 per bulan, masih ada uang untuk ditabung dan sekedar buat jalan-jalan sederhana, lho! Apalagi Jerman adalah negeri terkurung, ke luar negeri seperti ke luar kota atau hanya berbatasan dengan daratan (Belanda, Polandia, Ceko, Austria, Swiss, Perancis, Belgia, Denmark, Italia). Masih tertarik kabur ke Jerman???
Bertahan Hidup di Jerman? Itu yang Susah!
Namanya orang sebenarnya sudah mudah dan “murah” hidup di negeri Jerman, tapi ternyata ada banyak hal yang membuat kalian dari acara kabur aja dulu menjadi balik kampung:
1. Kekurangan uang
Dari gambaran di atas tadi, sebenarnya kalau hidup irit, bisa, kok, nyaman tinggal di Jerman. Wong pengangguran aja digaji. Jadi kalau dipecat atau keluar dari pekerjaan, bisa ke departemen pekerjaan umum dan mengadu ke sana supaya diurus uang tunjangannya. Kalau tidak salah 400 euro sebulan atau Rp 6,4 juta. Tapi namanya manusia, ada sifat tamak dan merasa kurang cukup saja. Kurang pandai bersyukur. Bisa beli bahan makanan murah, maunya yang mahal. Bisa memakai baju atau barang lain yang biasa saja, maunya yang branded. Ada banyak makanan tapi tidak diolah, rusak dan dibuang. Bisa melihat TV dengan ukuran 55 inch pengen yang dua kalinya. Dapat uang sokongan dari program beasiswa, harusnya untuk studi tapi dibuat foya-foya dan akhirnya datang marabahaya. Akibatnya, dompet menipis, kartunya kosong sampai terlilit hutang. Alamat harus pulang….
2.Kesepian dan Termin
Ini yang kadang mengganggu. Jika kalian hidup sendirian pasti nglangut, terbunuh sepi. Beda kalau sudah menikah dan berkeluarga. Ramai. Apalagi pertemanan di Indonesia itu tidak seperti di Jerman. Walau banyak teman di tempat kerja, bukan berarti mereka akan menjadi teman di saat senggang. Orang Jerman juga nggak menyukai kedatangan tamu yang tidak diundang. Biasanya harus janjian dulu atau istilahnya bikin “Termin.” Jangan mendadak mampir, ya. Itu mengganggu. Nah, kita yang lagi mellow nggak bisa tiba-tiba datang ke teman, tetangga atau rekan kerja, ya. Sebagai orang Indonesia apalagi yang tinggal di kampung, pasti merasa sedih
3. Hidup di Jerman serba cepat, stress
Ada orang yang tipe workaholic. Maunya kerja-kerja-kerja. Ada juga tipe orang yang santai, sih. Maunya biar lambat asal selamat, dalam mengerjakan segala hal. Kalau harus cepat-cepat seperti dikejar maling dan dada dag dig dug der nggak karuwan. Nggak nyaman banget. Walaupun aku orang Jawa, kalau bekerja aku cepat. Sayang kalau makan aku lama karena aku mengunyah makanan sebanyak 32 kali. Hahahaha. Nah, kalian yang nggak kebiasa hidup cepat, kerja cepat, berpikir cepat. Jerman bukan tempat kalian, guys. Aku merasa orang Jerman rata-rata nggak sabaran. Ini pasti akan menjadi kendala kalau kita orangnya lelet. Jangan suka telat, ya. Orang Jerman suka tepat waktu (walaupun jadwal keretanya sering telat bahkan dibatalkan). Wkwkwk, orang Jerman juga manusia bukan robot.
4. Cuaca 4 musim yang bikin jutek
Aku pikir, Jerman itu hanya ada dingin. Coba deh, musim panas itu kan Juni-Agustus. Aku kira, setiap hari akan bersinar matahari dan akan hangat di badan. Ngimpi! Kalau dihitung tiga bulan tersebut hanya ada satu bulan musim panas. Jangan percaya orang kalau musim panas di Jerman nggak usah pakai jaket. Harus bawa, harus pakai. Kalau nggak, bisa masuk angin. Hawa dingin sepertinya juga mempengaruhi karakter orang di Jerman. Orangnya kalau pagi jutek. Wajahnya ditekuk, sapaannya nggak ramah, nggak mau ngobrol yang nggak penting. Nah, beda dengan di Indonesia yang negara tropis. Kalau hujan saja, airnya hangat. Nggak heran kalau orangnya murah senyum. Nggak kenal saja sudah ngajak ngomong di dalam perjalanan dengan transportasi umum. Di Jerman, pada musim winter, bisa jadi es lilin kita. Walaupun aku orang Jawa, alhamdulillah aku suka main ski, seneng lihat salju. Kata orang Jerman “Bukan salah musim tapi salah pakai baju”, makanya aku selalu pakai baju sesuai musim. Jangan salah kostum karena bisa kedinginan, deh. Aman.
5. Karakter orang Jerman yang suka pamit “sakit”
Selama 5 tahun terakhir ini, aku kerja 100 persen. Sebelumnya aku hanya kerja sekian jam per hari saja. Selama bekerja, aku hanya satu kali sakit selama 5 hari, pas corona. Dibandingkan dengan teman-teman kerjaku, aku pusing kepala Barbie. Mereka ini, biasa nggak masuk kerja 2-3 hari per minggu. Alasannya kepala pusing, boyok pegal, perut sakit dan sakit yang nggak bisa dibuktikan. Di tempat kerjaku, mereka berlindung di bawah aturan, “setiap orang boleh tidak bekerja sampai tiga hari dan tidak memerlukan surat dokter. Selain itu, tidak ada seorangpun yang berhak tahu seseorang itu sedang sakit apa karena ini diskriminasi.” Di tempatku sudah biasa kalau ada teman yang sakit pada hari Jumat dan Senin. Kalau diteliti, ia bisa punya long weekend dari hari Jumat sampai Senin. Lah kalau kita orangnya rajin dan teman-teman malas bekerja tapi digaji sama, pasti eneg, kali. Kalau nggak kuat, jadi pengen bilang “Good bye” pada Jerman.
Pernah sekali aku tahu cerita seorang rekan kerja yang jatuh dari tangga dan kakinya terkilir. Ia boleh dirumahkan selama 6 minggu. Teman-teman pada iri. Sepandai-pandainya Tupai melompat akhirnya jatuh juga. Nggak tahunya, suatu hari, ia ketahuan jalan-jalan ke Turki.
6. Kangen dengan makanan Indonesia
Aku masih ingat mengundang diaspora Aceh di Swiss untuk cerita di Kotekatalk tentang cara membuat tempe di rumah. Segitunya, ya. Di Indonesia, tempe itu makanan biasa, mudah didapat dan murah. Di luar negeri jadi barang langka, mahal dan susah bikinnya. Ini yang kadang bikin diaspora Indonesia nggak nahan mudik. Betapa tidak. Mau ke warung Indonesia mana ada? Dibandingkan dengan restoran atau warung China di Jerman, restoran atau warung Indonesia sangat jarang ditemukan. Biasanya hanya di kota besar. Harganyapun juga mahal. Coba ke Indonesia, warung digelar di setiap ujung desa sampai kota. Harganya murah-meriah dan rasanya nendang. Ah, aku jadi kangen Indonesia. Untuk memasak kuliner Indonesia, aku harus beli bahannya mahal di internet. Belum lagi membersihkan dapur yang berantakan – ting kleder, membuat aku jadi malas masak. Enak kali, ya tinggal makan.
Dulu memang aku selalu makan nasi setiap hari. Sekarang ini, aku bisa diversifikasi makanan. Ganti-ganti kuliner yang disantap seperti Jerman, Italia, Turki, Indonesia, Yunani dan lain-lain. Supaya kalau aku travel, lidahku nggak kaku merasakan masakan di mana aku jalan-jalan. Namun, bagi orang Indonesia yang sudah punya prinsip “Kalau nggak makan nasi berarti belum makan”, susah kali ya, kalau harus lama-lama di Jerman. Orang Jerman lebih menyukai “Kartoffel” atau kentang dan “Brot” atau roti, ketimbang “Rice” atau nasi.
***
Ya, sudah. Dari bla-bla di atas, kalian yang masih ngebet kabur ke luar negeri, apalagi ke Jerman, bisa mempertimbangkannya masak-masak. Banyak, lho, orang Indonesia di Jerman yang hengkang dari Jerman karena nggak kuat. Banyak juga orang Jerman sendiri yang “auswandern” atau memutuskan untuk tinggal di luar negeri karena sudah nggak suka dengan kehidupan di negerinya sendiri. Seperti kita tahu, “Rumput tetangga memang lebih hijau.” Mereka ini biasa diliput dalam acara “Good bye, Deutschland” atau “Selamat tinggal, Jerman.”
Sebaliknya, banyak orang Indonesia yang mengibarkan bendera merah-putih wangi melati; penyanyi Claudia Emmanuela Santoso di Munich, desainer lurik Lina Berlina di Berlin, artis Bunda Corla di Hamburg dan penulis dan penari Gana Stegmann di Seitingen. Eh. Kami-kami ini tetap nasionalis, walau berada di negeri orang. Tetaplah begitu.
Akhirnya, mau kabur ke Jerman dan betah tentu kembali ke pribadi masing-masing. Setiap orang punya kekuatan mental dan badan yang berbeda. Setiap manusia punya pengalaman masa lalu dan kesempatan yang berbeda.
Ubur-ubur ikan Lele, boleh kabur asal kuat, Le.
Salam dari Jerman. (G76)