Di antara berbagai versi cerita Si Manis Jembatan Ancol yang diadaptasi ke dalam film, saya paling ingat dengan yang versi jadul. Namun, rupanya versi jadul yang diperankan Lenny Marlina, juga tidak sama persis dengan versi yang ada di Museum Wayang. Namun, keduanya juga punya kemiripan. Kesamaan di antara keduanya, yaitu merupakan tragedi dan kisahnya begitu sedih.
Si Manis dalam kisah Si Manis Jembatan Ancol di Museum Wayang dirupakan dalam bentuk boneka berpakaian kebaya dan mengenakan kerudung merah bata. Di depannya ada beberapa pria jahat dan di belakangnya ada seorang perempuan yang nampak licik.
Si gadis bernama Maryam dikenal memiliki wajah rupawan. Gadis tersebut hendak dijadikan simpanan oleh seorang pengusaha kaya raya. Si gadis pun menolak membuat si pengusaha naik pintam. Ia pun menyuruh anak buahnya menangkapnya. Ketika pengejaran entah bagaimana si gadis kemudian tewas. Mayatnua tidak dimakamkan, melainkan dibuang di persawahan yang lokasinya saat itu tak jauh dari Jembatan Ancol.
Nah pada versi Lenny Marlina, Maria adalah anak seorang haji. Ia berpacaran dengan pemuda berdarah indo bernama John. Namun, kawan-kawan John kerap meledeknya sebagai perempuan kampung.
Sementara sang ayah sakit-sakitan. Ia meminta Maria mengenalkannya ke kekasihnya. Panik dan sepertinya tak mungkin mengenalkan John sebagai pacarnya, Maria meminta Husin, tukang sado, berpura-pura jadi pacarnya.
Kebohongan berlanjut karena sang ayah diam-diam telah menyiapkan pernikahan buat keduanya. Maria nampak hampir putus asa mengetahui hal itu. Apalagi si pacar kemudian marah ketika mengetahuinya.
Husin yang diam-diam mencintai Maria juga ingin Maria melihatnya sebagai pria. Ia marah dan cemburu melihat John. Keduanya berkelahi. Konflik inilah yang kemudian membawa petaka bagi Maria dan Husin karena John kemudian melaporkan ke ayahnya.
Kedua versi cerita si manis tersebut tragis dan pilu. Dalam versi Lenny Marlina tidak dinampakkan apalah Maria diperkosa dan dibunuh setelah terpisah dari Husin ketika keduanya kabur. Hanya secara implisit penonton diajak menerka-nerka setelah melihat si penjahat menjual buntelan berisi baju Maria di loakan. Lantas baju tersebut dibeli oleh Husin.
Anak-anak sebelumnya juga sempat melihat mayat di sungai, namun ketika dicari sudah tidak ada. Mendengar kabar ada mayat perempuan di sungai dan adanya baju Maria itu membuat ayah Maria dan Husin yakin Maria sudah meninggal.
Di sini Turino Junaidy sebagai penulis dan sutradara cerdik dalam membingkai cerita sehingga penonton hingga di akhir film akan terus menebak-nebak apalah Maria betul sudah meninggal atau masih hidup.
Bagian makeup dan kostum tidak mendandani Maria dengan tampilan mengerikan usai kabar kematiannya. Ia juga tidak mengenakan baju merah. Maria dinampakkan masih sama dengan sebelumnya, dengan kebaya putih dan kerudung. Hanya, senyum telah meninggalkan wajahnya. Raut wajahnya nampak sedih dan merasa menyesal.
Musik skor di seperempat terakhir dipilih yang mencekam. Adegan-adegan yang seram sengaja dibuat komikal seperti pakem film horor jadul pada umumnya, yaitu dokar yang mengangkut Maria tiba-tiba berhenti di pemakaman dan Marianya telah menghilang.
Makeup dan kostum dalam film ini nampaknya masih belum terlalu detail. Yang membuat tertawa ketika ditonton saat ini adalah wig pirang yang dikenakan Farouk Afero untuk mengenalkan karakternya sebagai pemuda berdarah indo. Wig tersebut nampak kurang sesuai dengan bentuk wajahnya.
Di versi Museum Wayang kejadian yang menimpa Maria atau Maryam berkisar pada tahun 1800an. Sedangkan di versi Lenny Marlina tidak begitu diketahui latar waktunya, hanya dinampakkan kumpeni Belanda yang masih berkuasa dan alam Jakarta yang masih asri, hijau, dengan Ancol yang masih banyak hijau-hijauan.
Film Si Manis Jembatan Ancol mengenalkanku pada Lenny Marlina. Ia adalah seorang aktris legendaris dengan membintangi sekitar 100 film. Dalam Si Manis, ia beradu akting dengan Kris Biantoro dan Farouk Afero
Pada tahun ini persisnya 19 Februari lalu ia berusia 71 tahun. Ia pernah mendapatkan dua piala Citra dalam perannya di film Jangan Ambil Nyawaku (1981) dan Kembang Kertas (1984). Ia juga pernah mendapatkan penghargaan Pendatang Baru Terbaik di Asian Film Festival 1971 lewat film Ananda dan meraih Best Indonesian Actress di Gold Gufi 1982. Ia memberi teladan ke kita agar berupaya dengan sungguh-sungguh untuk menjalankan profesi yang sesuai dengan minat.