Laporan Jurnalis, Ahmad Syarifudin
, SOLO –
Kepopuleran Orkes Melayu (OM) Lorenza akhir-akhir ini tidak dapat dipertanyakan.
Sejauh wilayah Solo Raya, orkestrasi dari Sukoharjo kini sedang ramai diperbincangkan dan berkelanjutan dalam menarik banyak peminat.
Keunikan mereka terletak pada koleksi lagu dangdut klasik dari tahun 1970-an.
Meskipun demikian, bahkan di antara generasi muda, mereka menjelma sebagai fenomena khas di tengah genre dangdut koplo yang telah mendominasi pemanduan industri musik itu.
Maka, siapakah sesungguhnya OM Lorenza tersebut?
Pemilik OM Lorenza, Murjiyanto, menceritakan tentang asal-usul ide menghidupkan kembali gaya musik dangdut dari era 70’an yang tercetus.
Pandemi COVID-19 menyebabkan orkestrasi ini harus berhenti sejenak.
Di tengah sepinya job manggung mereka menghibur diri dengan mendendangkan lagu dangdut klasik yang menjadi kegemaran mereka.
“Di awal pandemic COVID-19 tersebut, terdapat beberapa batasan yang melarang kami untuk tampil dimana saja. Sebagai penggemar dari lagu-lagu klasik, selama masa pandemik kami bermain musik dengan menggunakan gitar akustik, drum dan perkusi lainnya secara mandiri, bernyanyi serta mendengarkannya sendirian juga. Banyak penonton yang menyukai video klip hasil rekaman kami ketika diposting ke Facebook.” Penjelasan tersebut disampaikan oleh beliau saat bertemu dengan tim di wilayah Sidorejo, Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo baru-baru ini.
Dia tidak mengira bahwa lagu-lagu dari masa lalu (klasik) malah menjadi favorit bagi banyak orang.
Pada saat itu dia merasa bahwa popularitas dangdut koplo sangatlah susah untuk dilampaui.
“Karena respons positif dari masyarakat, akhirnya hasil kerja keras kami menjadi seperti ini. Sebenarnya awalnya kami meragukan apakah ada yang akan tertarik. Saat itu lagu-lagu koplo sangat digemari oleh kalangan remaja. Siapa sangka ketika kami membawakan lagu lawas, ternyata mendapat sambutan hangat dan bahkan lebih disukai. Terutama para pemuda,” ungkapnya.
Mereka memainkan berbagai macam lagu yang sedang hits saat itu, meliputi karya Elvy Sukaesih, Ida Laila, serta banyak penyanyi lainnya.
Kini lagu Tambal Ban hasil ciptaan Usman Bersaudara telah menjelma sebagai salah satu musik yang sedang populer dan sering terdengar di mana pun berkat kontribusi dari orkestra tersebut.
“Lagu-lagu lama dahulu sempat populer. Banyak orang mengenal sejak berusia 40 tahun lebih. Kami pilih beberapa karya dari Elvy saat dia masih muda, Rhoma ketika masih muda, serta Ida Laila. Contohnya seperti Lagu ‘Tambal Ban’, ‘Kribo’, ‘Hangat’, dan ‘Luntang-Lantung’. Ada banyak lagi. Yang telah dikumpulkan oleh Lorenza mencapai ratusan,” terangnya.
Orkestra yang memainkan musik dangdut bergaya Melayu dari tahun 70-an ini merupakan pilihan untuk mereka yang tidak ingin menari dengan gerakan enerjik dan ritme yang terlalu melelahkan.
“Jika dangdut klasik, pergerakannya hanya pada tangan dan kepala yang terlihat lebih tenang. Pergerakan yang nyaman tanpa paksaan. Dalam dangdut klasik, orang-orang saling bertumpu namun seolah tidak ada benturan. Sementara untuk koplo, ada ayunan,” penjelasan Murjiyanto.
Untuk mereka yang pernah merasakan saat itu, kedatangan OM Lorenza membawa kembali ingatan tentang masa lalunya sambil memperlihatkan evolusi musik dangdut hingga sejauh ini.
“Benar-benar dengarkan dengan baik dan nikmati rasanya hingga kehati. Musik klasik yang asli seperti itu. Terkadang orang melupakan zaman dahulu tetapi sesekali juga mengingatkannya. Untuk genre koplo, ada berbagai macam instrumen musik. Agar menjadi menyenangkan harus meriah,” ujar Murjiyanto.
Pada masa-masa tersebut, istilah musik dangdut masih belum digunakan.
Genre musik ini umumnya disebut sebagai musik Melayu.
Sampai sekarang, meskipun tidak banyak orang yang mengenal arti lengkap dari singkatannya, setiap grup musik dangdut tetap saja dikenal sebagai Orkes Melayu (OM).
“Secara resmi dikenal sebagai orkestra Melayu di labelnya. Namun, orang-orang lebih sering memanggilnya dangdut Lorenza,” jelasnya.
Profili Tentang Via Vallen, Artis Lagu Dangdut Orisinil Jawa Timur yang Memulai Karirnya di Pentas Lokal
OM Lorenza memperlihatkan keseluruhan bakatnya dalam menghidangkan musik dangdut zaman 70-an. Salah satunya adalah karakteristik membrane drum yang dibuat menggunakan material serat.
Tidak seperti kendang koplo yang biasanya terbuat dari kulit.
Ditambah dengan cupakan mandolin dan serunai bambu, maka terciptalah suara yang khas untuk genre dangdut dalam irama melayu.
“Jika koplo biasanya terdengar lebih kencang. Sebenarnya jaipong lah yang pertama kali populer di Jawa Timur. Ritme jaipong sangat dominan. Untuk kendang lama itu menggunakan bahan mika. Sedangkan untuk kendang modern saat ini umumnya dibuat dari kulit. Kedua jenis tersebut menghasilkan bunyi yang berbeda. Kenangan-kenangan orang-orang pun bangkit kembali,” katanya.
Bukan cuma orang dari generasi 70-an saja yang ingin merasakan nostalgia, tetapi banyak juga pemuda sekarang yang menyukai jenis musik ini.
Buat mereka, ini justru pengalaman baru.
Meningkatkan pengetahuan bahwa genre musik dangdut tidak hanya terbatas pada dangdut koplo.
“Ketika tampil di Klaten, penontonnya terdiri dari berbagai pelajar mulai SMP sampai SMA. Mereka mengomentari bahwa acaranya seru dan musiknya menyenangkan. Hampir setiap kali kami tampil, jumlah penonton dewasa dan remaja sekitar 50:50. Meski menggunakan pakaian lawas, tetapi semua tampak percaya diri,” paparnya.
(*)